Senin, 10 Oktober 2011

AKU DAN BIDADARI YANG TERLUKA


Aku hanya diam saat melihatnya berdiri di ujung atap, dia merentangkan tangannya dan berteriak sekeras-kerasnya hingga seorang wanita yang ada disampingku menangis. Aku tak mengerti apa yang terjadi diantara mereka, seorang gadis cantik dengan wajah yang sembab dan seorang wanita tua yang terlihat begitu rapuh. Aku hanya diam memperhatikan apa yang terjadi dengan mereka berdua,
“Biarkan aku mati…” teriak gadis itu dan membuatku sedikit terkejut, karena sejak tadi aku tak bisa mendengar suara apapun, kecuali suara musik yang keluar dari dua speaker headphone yang menempel di telingaku.
“Jangan… Abel, jangan Nak”. Aku hanya diam karena masih tak mengert ap yang terjadi diantara dua insan manusia itu, tapi kemudia kedua otakku mulai bekerja untuk memahami keadaan. Dan saat aku mulai mengerti entah mengapa aku masih diam melihat itu semua, yah gadis cantik yang bernama Abel itu sepertinya ingin bunuh diri.
Angin datang menerpa rambutnya yang hitam dan panjang, berkibar bersama rok putih dan bermotif bunga Lili warna kuning. Untuk sesaat keadaan terasa sunyi, dan saat aku perhatikan Abel, dia seperti bidadari yang cantik nan anggun , tapi menyedihkan membuat siapapun yang melihatnya pasti merasa iba padanya.Tak ku palingkan sedetikpun pandanganku dari keduanya, aku menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pergi menjauh dan duduk diantara sudut empat sudut siku dari bangunan itu, lantai atap yang berdiri diatas 20 lantai dibawahnya. Kemudian aku tersenyum, membayangkan tubuh abel yang kecil itu jatuh ke bawah dan menyentuh dasar aspal yang ada dibawah sana. Aku rasa dia pasti akan langsung mati, langsung pergi menuju alam yang lain, neraka mungkin.
“Kenapa dia pergi meninggalkan aku, kenapa kau meninggalkan aku Dino……!” bidadari itu menangis, aku bisa melihat butiran air mata yang jatuh dari pipinya. “Kau pernah berjanji tak akan meninggalkan ku, kita akan hidup bersama… tapi kenapa? Kenapa?” bidadari itu semakin terlihat menyedihkan.
“Abel sayang… mama mohon nak, turun dari situ. Turun nak !” wanita tua itu semakin memelas memohon agar bidadari itu turun dari tepian pagar atap, dan sepertinya kedua kakinya tak sangup lagi menopang tubuhnya diapun jatuh bersimpuh, tapi rupanya bidadari itu tetap teguh berdiri di ujung kehidupan.
          Aku menghela nafas panjang, mencoba bersabar menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. Aku melihat ke atas langit dan melihat gumpalan awan yang berjajar indah dengan warna putihnya, aku berfikir bagaimana bisa bidadari seelok dia mengabaikan indahnya dunia ini. Saat matahari mengintip malu di balik awan saat pagi menjelang, tetesan embun yang membuat rumput-rumput basah dan menyegarkan siapapun yang menyentuhnya. Dan aku masih heran bagaimana bidadari itu bisa mengabaikan hembusan angin yang begitu menyejukan, atau indahnya warna pelangi kala hujan usai dan mencium harumnya bunga-bunga ditaman.
          Tapi aku rasa bidadari itu buta, dia tak bisa melihat keindahan alamnya. Dia tuli akan merdunya simfoni alam, atau indra penciumannya telah mati. Aku tersenyum lagi dan berfikir bahwa sesungguhnya bidadari itu bisu, dia tak bisa mengucakan rasa syukur pada tuhan yang telah memberinya kehidupan. Sejenak aku merasa kesal, ingin aku marahinya tapi kemudian aku redam kekesalan itu. Tak mungkin aku bisa memarahi seorang bidadari, karena bidadari seperti dia terlalu banyak di dunia ini.
          Aku mengembalikan perhatianku pada bidadari itu lagi, aku masih melihatnya berdiri dan menangis, dia sudah benar-benar buta oleh cintanya yang picik itu. Begitu juga wanita tua itu, tetap bersimpuh dan memohon tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan baru kusadari keadaan mulai ramai oleh orang yang menyaksikan aksi nekat sang bidadari, entah sudah berapa banyak dan lamanya orang-orang itu disana?, tapi yang pasti mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Sepertinya kesabaranku menunggu akhir kisah bidadari itu telah habis, aku bangkit dari dudukku dan mendekati bidadari itu. Aku naik ke pagar dan berdiri tepat dibelakang bidadari itu, hingga aku bisa marasakan belaian halus rambutnya yang menyentuh mukaku, dan merasakan hancur dan sedih yang ia rasakan saat ini.
“Apa kau ingin mati ?” tanyaku padanya dan dijawab dengan sebuah anggukan, “Kenapa?” dia tak segera menjawab karena tercekik oleh udara yang sepertinya enggan untuk masuk kedalam paru-parunya, kudengar jantungnya berdebar kencang menandakan emosi yang tidak terkontrol atau bahkan mungkin dia merasakan takut.
“Dino telah pergi meninggalkan aku, aku… aku sangat mencintainya, aku… sangat…, tapi dia pergi.” Dia berhenti sejenak dan menelan ludah, aku rasa dia benar-benar lelah. “Aku tidak bisa hidup… tanpanya, aku tidak bisa hidup tanpa kekasihku” setitik air mata kembali jatuh dipipinya, terbang terbawa angin dan menyentuh mukaku. Saat ini aku bisa merasakan deru nafasnya, hangat tubuhnya, tetesan peluh ditubuhnya dan juga bisa kulihat jelas tangannya gemetar.
Aku tersenyum mendengar jawaban itu, apa iya jika seorang bidadari sudah jatuh cinta akan menjadi seperti ini? Akan hidup dan mati untuk cintanya. Aku kecewa mendengar jawaban itu, ternyata cintanya sepicik itu, serendah itu tapi bisa mengalahkan cintanya pada tuhan.
 “Baiklah kalau kau mau mati, silahkan loncat… aku tak akan melarangmu seperti mereka !” aku memandangnya dan melihat ada begitu banyak pertanyaan dimatanya. Bagaikan burung yang akan terbang bidadari itupun merentangkan tangannya lebar – lebar seraya bergumam,
“Aku akan pergi menemuimu Dino, tunggulah aku di pintu surga…” dan bidadari itupun melemparkan dirinya kedasar sana, sungguh mengenaskan nasib bidadari tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar