Aku hanya diam
saat melihatnya berdiri di ujung atap, dia merentangkan tangannya dan berteriak
sekeras-kerasnya hingga seorang wanita yang ada disampingku menangis. Aku tak
mengerti apa yang terjadi diantara mereka, seorang gadis cantik dengan wajah
yang sembab dan seorang wanita tua yang terlihat begitu rapuh. Aku hanya diam
memperhatikan apa yang terjadi dengan mereka berdua,
“Biarkan aku
mati…” teriak gadis itu dan membuatku sedikit terkejut, karena sejak tadi aku
tak bisa mendengar suara apapun, kecuali suara musik yang keluar dari dua
speaker headphone yang menempel di telingaku.
“Jangan… Abel,
jangan Nak”. Aku hanya diam karena masih tak mengert ap yang terjadi diantara
dua insan manusia itu, tapi kemudia kedua otakku mulai bekerja untuk memahami
keadaan. Dan saat aku mulai mengerti entah mengapa aku masih diam melihat itu
semua, yah gadis cantik yang bernama Abel itu sepertinya ingin bunuh diri.
Angin datang
menerpa rambutnya yang hitam dan panjang, berkibar bersama rok putih dan
bermotif bunga Lili warna kuning. Untuk sesaat keadaan terasa sunyi, dan saat
aku perhatikan Abel, dia seperti bidadari yang cantik nan anggun , tapi
menyedihkan membuat siapapun yang melihatnya pasti merasa iba padanya.Tak ku
palingkan sedetikpun pandanganku dari keduanya, aku menunggu apa yang akan
terjadi selanjutnya. Pergi menjauh dan duduk diantara sudut empat sudut siku
dari bangunan itu, lantai atap yang berdiri diatas 20 lantai dibawahnya.
Kemudian aku tersenyum, membayangkan tubuh abel yang kecil itu jatuh ke bawah
dan menyentuh dasar aspal yang ada dibawah sana. Aku rasa dia pasti akan langsung mati,
langsung pergi menuju alam yang lain, neraka mungkin.
“Kenapa dia
pergi meninggalkan aku, kenapa kau meninggalkan aku Dino……!” bidadari itu menangis,
aku bisa melihat butiran air mata yang jatuh dari pipinya. “Kau pernah berjanji
tak akan meninggalkan ku, kita akan hidup bersama… tapi kenapa? Kenapa?”
bidadari itu semakin terlihat menyedihkan.
“Abel sayang…
mama mohon nak, turun dari situ. Turun nak !” wanita tua itu semakin memelas
memohon agar bidadari itu turun dari tepian pagar atap, dan sepertinya kedua
kakinya tak sangup lagi menopang tubuhnya diapun jatuh bersimpuh, tapi rupanya
bidadari itu tetap teguh berdiri di ujung kehidupan.
Aku menghela nafas panjang, mencoba bersabar menunggu apa
yang akan terjadi berikutnya. Aku melihat ke atas langit dan melihat gumpalan
awan yang berjajar indah dengan warna putihnya, aku berfikir bagaimana bisa
bidadari seelok dia mengabaikan indahnya dunia ini. Saat matahari mengintip
malu di balik awan saat pagi menjelang, tetesan embun yang membuat rumput-rumput
basah dan menyegarkan siapapun yang menyentuhnya. Dan aku masih heran bagaimana
bidadari itu bisa mengabaikan hembusan angin yang begitu menyejukan, atau
indahnya warna pelangi kala hujan usai dan mencium harumnya bunga-bunga
ditaman.
Tapi aku rasa bidadari itu buta, dia tak bisa melihat
keindahan alamnya. Dia tuli akan merdunya simfoni alam, atau indra penciumannya
telah mati. Aku tersenyum lagi dan berfikir bahwa sesungguhnya bidadari itu
bisu, dia tak bisa mengucakan rasa syukur pada tuhan yang telah memberinya
kehidupan. Sejenak aku merasa kesal, ingin aku marahinya tapi kemudian aku
redam kekesalan itu. Tak mungkin aku bisa memarahi seorang bidadari, karena
bidadari seperti dia terlalu banyak di dunia ini.
Aku mengembalikan perhatianku pada bidadari itu lagi, aku
masih melihatnya berdiri dan menangis, dia sudah benar-benar buta oleh cintanya
yang picik itu. Begitu juga wanita tua itu, tetap bersimpuh dan memohon tanpa
bisa berbuat apa-apa. Dan baru kusadari keadaan mulai ramai oleh orang yang
menyaksikan aksi nekat sang bidadari, entah sudah berapa banyak dan lamanya
orang-orang itu disana?, tapi yang pasti mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Sepertinya
kesabaranku menunggu akhir kisah bidadari itu telah habis, aku bangkit dari
dudukku dan mendekati bidadari itu. Aku naik ke pagar dan berdiri tepat
dibelakang bidadari itu, hingga aku bisa marasakan belaian halus rambutnya yang
menyentuh mukaku, dan merasakan hancur dan sedih yang ia rasakan saat ini.
“Apa kau ingin
mati ?” tanyaku padanya dan dijawab dengan sebuah anggukan, “Kenapa?” dia tak
segera menjawab karena tercekik oleh udara yang sepertinya enggan untuk masuk
kedalam paru-parunya, kudengar jantungnya berdebar kencang menandakan emosi
yang tidak terkontrol atau bahkan mungkin dia merasakan takut.
“Dino telah
pergi meninggalkan aku, aku… aku sangat mencintainya, aku… sangat…, tapi dia
pergi.” Dia berhenti sejenak dan menelan ludah, aku rasa dia benar-benar lelah.
“Aku tidak bisa hidup… tanpanya, aku tidak bisa hidup tanpa kekasihku” setitik
air mata kembali jatuh dipipinya, terbang terbawa angin dan menyentuh mukaku.
Saat ini aku bisa merasakan deru nafasnya, hangat tubuhnya, tetesan peluh
ditubuhnya dan juga bisa kulihat jelas tangannya gemetar.
Aku tersenyum
mendengar jawaban itu, apa iya jika seorang bidadari sudah jatuh cinta akan
menjadi seperti ini? Akan hidup dan mati untuk cintanya. Aku kecewa mendengar
jawaban itu, ternyata cintanya sepicik itu, serendah itu tapi bisa mengalahkan
cintanya pada tuhan.
“Baiklah kalau kau mau mati, silahkan loncat…
aku tak akan melarangmu seperti mereka !” aku memandangnya dan melihat ada
begitu banyak pertanyaan dimatanya. Bagaikan burung yang akan terbang bidadari
itupun merentangkan tangannya lebar – lebar seraya bergumam,
“Aku akan
pergi menemuimu Dino, tunggulah aku di pintu surga…” dan bidadari itupun melemparkan
dirinya kedasar sana, sungguh mengenaskan nasib bidadari tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar